wuih,, ni cerpen karangan siapa ni? keren buangett,,, pasti cakep, menawan, imut deh pengarangnya *apa coba
PENYESALAN
Ku pandangi lilin yang menyala terang. Hanya api dari lilin inilah yang menerangi aku dan keluargaku. Bukannya tidak ada listrik tapi kali ini komplek rumahku yang kena pemadaman listrik bergilir. Aku bosan, tidak banyak yang bisa dilakukan saat mati lampu. Tidak bisa menonton televise, mendengarkan radio, apalagi internetan, ingin ke dapur untuk mengambil cemilan, takut karena terlalu gelap. Jadi aku hanya bisa berdiam diri sambil melamun sesuatu.
Disaat keheningan menggerayangi rumahku, tiba-tiba telepon rumah berdering, mengusik keheningan. Perlahan-lahan ibu menuju meja telepon untuk mengangkatnya. Susah memang berjalan saat mati lampu. Sepertinya telepon itu dari padeku karena ibu berbicara dengan bahasa Jawa, bahasa yang biasa digunakan oleh keluarga besar kami, wajarlah, kedua orang tuaku memang berasal dari Jawa sebelum merantau ke Kalimantan.
Dulu, waktu ibu belum menikah, pakde lah yang bersedia menopang tanggung jawab untuk menyekolahkan ibuku di salah satu universitas Kalimantan sehingga ibu bisa menjadi wanita yang sukses serta berhasil seperti ini. Ibu lahir di Malang dan Ayah lahir di Blitar, seperti kataku tadi, kedua orang tuaku berasal dari tanah jawa, tepatnya Jawa Timur. Sekarang ibu bekerja di tempat kuliahnya dulu dan menjadi PNS di sana. Ibuku seorang wanita yang lemah lembut, pengertian, jago masak, tapi jangan sekali-kali mengabaikan perkataan ibu, jika tidak beliau akan sangat marah dan akan terus mengomel tanpa henti. Berbeda dengan ayah, ayah seorang yang perkasa, keras, serta humoris, tak jarang kami sekeluarga tertawa terbahak-bahak sampai terdengar oleh tetangga hanya karena guyonan beliau, tapi tidak seperti ibu, ayah akan lebih memilih bungkam jika marah daripada mengomel. Ayah kini bekerja sebagai pegawai negeri.
“tek” aku mendengar telepon ditutup oleh ibu.
“besok lusa uti mau ke Kalimantan”, ucap ibu. “uti” begitulah aku dan saudara-saudara sepupuku memanggil nenek dalam bahasa jawa. Nenek, orang tua dari ibuku ini tinggal di Probolinggo, Jawa Timur.
“oh ya?? Asyik donk”, ungkapku bersemangat.
“iyaa,, tapi uti ke sini bukan mau liburan, nduk, tapi mau berobat untuk menyembuhkan kanker rahimnya uti” kata ibu dengan nada datar.
“tapi kan tetep aja rame, kedatangan keluarga dari luar pulau”, ungkapku bersikeras.
“orang sakit, kok, dibilang asyik” kata ayah ikut nimbrung.
Aku hanya terdiam, aku senang sekali jika ada keluarga yang datang ke Kalimantan. Apalagi bermaksud mengunjungiku.
****
Hari ini uti datang ke Kalimantan, tepatnya di kota Banjarmasin, tepat aku tinggal, tetapi beliau menginap di rumah pakde. Kata ibu yang sudah bertemu dengan uti bilang kalau uti tambah kurus sekarang karena penyakitnya. Tapi aku tak perduli, aku tetap ingin bertemu dengan utiku. Sudah lama aku tidak bertemu dengan beliau. Jadi aku sangat merindukan beliau.
Beberapa hari kemudian, pakde ke rumahku bersama bude dan mbak Sena, tapi yang paling ingin kunantikan adalah uti. Tak sabar rasanya ingin melihat beliau. Sewaktu uti masuk rumahku, betapa terkejutnya aku. Uti, bagiku beliau wanita yang tangguh, selalu membelikan aku brem jika aku mengunjungi beliau, wanita yang disiplin, selalu bangun pagi, dan beliau selalu menjadi kebanggaanku, kini beliau berbeda saat 5 tahun lalu aku bertemu. Uti yang kini kulihat jauh dari apa yang kubayangkan, beliau sangat kurus, padahal uti adalah wanita yang makmur dan montok. Aku jadi merasa takut melihat uti karena aku merasa seolah-olah itu bukan uti, seperti orang asing bagiku.
Belum ama pakde di rumahku, uti merengek ingin kembali ke pulang, ke tempat pakde.
“tunggu sebentar po’o ti, baru sampe mau langsung pulang”, ucap mbak Sena, sepupuku.
“uti wes capek, mau tidur” jawab uti dengan nada lemah tanpa tenaga.
“bu, kalau mau tidur di kamar aja” kata ibuku menenangkan.
“emoh aku, aku ga mau tidur di sini” jawab uti agak manja dengan suara ringkih.
Mau tak mau, akhirnya pakde pamit untuk pulang.
***
Sudah beberapa minggu uti di Banjarmasin. Tetapi belum ada rumah sakit yang mampu menyembuhkan penyakit uti. Dan ibu berkata kalau uti akan menginap di rumahku besok.
“kok nginep di sini. Kalau mau ke rumah sakit kan tambah jauh. Deketan di rumah pakde kan” kataku masih ragu kalau uti akan menginap di rumah.
“katanya mbak Sena mau ujian nasional, kamu kan tau uti kayak apa?” kata ibu member penjelasan. Mbak Sena kelas 3 SMA dan akan menghadapi UAN. Sepertinya mbak Sena tidak akan konsentrasi belajar kalau ada uti karena uti selalu mngeluh inilah, itulah. Jadi kemungkinan besar itulah yng membuat mbak Sena tak konsentrai pada pelajarannya.
Sudah beberapa hari uti di rumah, ternyata ramai juga ada uti. Mungkin karena kebiasaan jika pulang sekolah hanya aku dan adik yang di rumah, dan orangtuaku, jangan ditanya, tentu saja mereka mencari nafkah. Kadang aku merasa kesepian hanya dengan adik di rumah. Sering aku mengeluhkan hal itu kepada ibu.
“ibu sama ayahkan cari uang, supaya kamu bisa sekolah dan kita bisa makan”
Uti yang jago masak sering membuatkanku singkong rebus. Entah mengapa, padahal itu hanya singkong rebus, tapi jika uti yang masak rasanya menjadi luar biasa enak. Makan singkong rebus setiap hari pun tak jadi masalah bagiku jika uti yang membuatnya.
Suatu saat, ketika aku sedang mengerjakan tugas dari sekolah, uti mengeluh maca-macam, aku jadi merasa terganggu.
“uti ini. Jangan mengeluh terus donk, kayak anak kecil aja, anak kecil aja gak kayak gitu” ungkapku kasar.
Akhirnya uti terdiam. Banyak kejadian menyebalkan yang terjadi selama uti ada di rumah. Ingin rasanya jika uti kembali pulang saja ke Probolinggo. Tapi karena uti lebih tua aku harus menghormati beliau. Begitulah orang tua ku mendidik untuk harus menghormati orang lebih tua.
Kini giliranku untuk menghadapi Ujian Akhir Sekolah karena aku sudah berada di kelas enam. Waktu itu Ujian Nasional belum diterapkan untuk siswa SD. Ketika pakde ke rumah untuk menjenguk uti, aku langsung mengapresiasikan kekesalan hati ini.
“sebentar lagi Ayu ujian, uti tinggal di rumah pakde aja ya?. Ayu terganggu, ga bisa belajar karena uti selalu mengeluh”, kataku.
“biar aja uti di sini”, jawab pakde singkat.
“tapi waktu mbak Sena mau ujian, uti tinggal di sini”, kataku bersikeras.
“mbak Sena kan sudah SMA, mau neruskan kuliah di universitas”, kata pakde lagi
Akhirnya aku terdiam, hanya itulah yang bisa dilakukan oleh anak berusia 11 tahum sepertiku ini Aku ini bisa apa, percuma aku memohon, sampai nangis darah pun tidak akan dituruti.
Ujian Akhir Sekolah pun telah dilaksanakan di sekolah, aku berusaha dan meyakinkan diri kalau aku bisa menjawab soal-soal ujian. Di hari ketiga, ujian berakhir, tinggal menunggu kepastian, aku lulus atau tidak.
Sudah dua minggu aku menunggu hasil ujian. Akhirnya pegumuman itupun tiba. Alhamdulillah, semua siswa di SD tempatku sekolah lulus semua. Tak sabar aku ingin memberitahukannya kepada ibu dan ayah. Ketika sampai di rumah dengan menggunakan mobil kuning bersupir alias angkot, aku langsung menemui uti karena orang tuaku belum pulang dari bekerja, dan di rumah hanya ada uti. Aku langsung memberitahukan pada uti bahwa aku lulus ujian. Uti amat senang mendengar hal itu. Uti langsung memeluk dan menciumku atas keberhasilan ini. Ya Tuhan, sungguh aku sangat menyayangi wanita ini.
***
Liburan pun tiba. Aku mengajak teman-temanku untuk bermain monopoli di rumahku. Ketia aku sedang asyik bermain, uti mengajakku berbicara terus. Sampai-sampai aku kalah bermain mainan pengusaha ini.
“uti akh,,, kalah kan jadinya, huh.” Bentakku kepada uti. Sungguh mengesalkan.
Beberapa hari berlalu. Akhirnya uti akn kembali ke Probolinggo. Sedih juga mendengar hal itu, tapi aku berpikir, kalau uti di sini, pasti akan aku bentak terus. Hari minggu pagi, aku bersama keluarga pakde beserta ibu mengantar uti ke bandara, di tengah perjalanan yang didominasi keheningan, kabut tebal turut mengantarkan uti.
***
Kini aku sudah resmi menjadi siswi SMP. Sungguh bangga rasanya memakai seragam putih biru nan elegan ini, padahal baru satu bulan lalu aku memakai baju putih merah. Sedangkan mbak Sena menjadi mahasiswi di suatu universitas di Surabaya.
Setahun sudah kulewati waktu di SMP. Sekarang aku berada di kelas VIII. Sudah lama aku tidak mendengar berita tentang uti. Entah mengapa hati ini berasa rindu akan uti.
Tiba-tiba terdengar berita kalau penyakit kanker rahim uti sudah terlalu parah. Mendengar berita itu ibu langsung mengambil cuti untuk pergi ke Probolinggo selama satu minggu menjenguk dan merawat uti semampunya.
Seminggu semenjak keberangkatan ibu, akhirnya ibu kembali ke Banjarmasin.
Di hari minggu pagi yang cerah, aku duduk di ruang tamu bersama ibu.
“kasihan uti, sakitnya parah banget”, kata ibu setelah dua hari sampai di rumah dengan wajah yang begitu muram.
“apa uti masih sering mengeluh seperti dulu”, tanyaku.
“iya, makanya kamu jangan berani sama uti, uti kamu lawan begitu. Itu ga baik lo nduk”, kata ibu member nasihat.
Aku tahu, aku sudah berbuat salah selama ini kepada uti. Tapi apa dayaku, aku belum bisa mengatur grafik emosi yang fluktuasi ini.
Tiba-tiba telepon berdering membuyarkan lamunanku. Ibu langsung menjawab telepon.
“Assalamualaikum. Hallo” kata ibu dengan suara lembut. “hah, inalillahi wa inailahi rojiun” kata ibu lemas. “yo wes aku kesana. Aku usahakan ya?. Yo wes. Waialikumsalam” kata ibu mengakhiri pembicaraan dan menutup telepon.
“tadi oom mu telepon, uti sudah pulang”, kata ibu dengan nada yang datar.
Hatiku sangat terkejut ketika ibu memberi tahu aku kalau uti telah pergi untuk selamanya menghadap Tuhan Yang Maha Esa. Aku berusaha terlihat biasa saja mendengar hal itu, aku tidak ingin menangis. Tapi hatiku tidak biasa. Nafasku terasa sesak.
“hah… inalillahi wa inailahi rojiun, kapan meninggalnya,bu?” tanyaku lesu.
“tadi pagi, katanya sekitar jam lima”, jawab ibu. “dimakamkanny nanti siang kalo ga sore” ucap ibu lagi.
Ibuku memutuskan untuk minta libur satu minggu lagi dan berangkat ke Probolinggo.
“kapan ibu mau berangkat?” tanyaku
“ya kalau bisa hari ini, ibu mau ngurus pemakaman uti”.
“kapan ibu pulang ke Banjarmasin lagi?”
“mungkin seminggu lagi” jawab ibu
Ibu bergegas memasukkan baju-baju seadanya ke koper kecil dan meminta ayah yang sedang mencuci sepeda motor untuk mengantarkan ibu. Ayah langsung bergegas pula, menuju kamar mandi, lalu mengganti pakaian dan mengeluarkan mobil, siap untuk mengantar ibu ke bandara.
Ibu menghampiri aku yang sedang duduk muram di kursi tamu.
“jaga adik baik-baik ya!, adiknya jangan diganggu terus. Bantu adiknya belajar ya! Kamu jangan nakal kalau ibu tinggal” ucap ibu member nasihat kepadaku.
“iya bu, Ayu jaga adik, jangan khawatir” jawabku memastikan ibu bahwa aku tidak apa-apa jika ditinggal. Ibuku langsung mencium pipiku dan pergi bersama ayah meninggalkanku, yang rapuh, lemas tak berdaya. Sebenarnya aku ingin inut, tapi aku ingat akan sekolaku dan aku tak mungkin meninggalkan pelajaranku karena sebntar lagi ulangan umum.
***
Malam harinya, aku tak bisa tidur, memikirkan uti. Aku menangis sejadi-jadinya jika mengingat saat berani membentak uti. Ingin rasanya aku putar waktu dan kembali ke masa lalu bertemu lagi dengan uti lalu meminta maaf. Aku menyesal telah berbuat tidak menyenangkan kepada beliau.
Aku telah mempermainkan waktu yang berharga dalam hidup ini. Aku menganggap hidup ini seperti bermain games harvest moon yang dapat diulang lagi, lagi, sesuka hati, atau mungkin seperti mesin waktu milik doraemon. Tetapi aku salah, hidup hanya sekali, tak dapat diulangi.
Banyak sekali dosa-dosa yang aku perbuat selama ini, terutama kepada uti. Seandainya aku bisa melihat seberapa banyak dosa yang telah kuperbuat. Tetapi kesalahan yang dicatat oleh malaikat tak dapat dilihat saat ini. Kita akan mengetahui dosa-dosa kita di hari akhir nanti. Melihat jumlah dosa, tidak seperti melihat jumlah point minus yang didapat di sekolah, tinggal bertanya pada guru BP, tidak segampang itu.
Uti yang selalu menyimpan brem di atas lemarinya untuk diberikan kepada ku jika aku mengunjunginya. Uti yang masih mau memasakan singkong rebut untukku walaupun beliau sedang sakit. Kini uti telah pergi, tak akan pernah kembali lagi. Pergi bersama kabut tebal saat aku mengantarkan uti ke bandara 2 tahun lalu. Wanita tangguh tapi anggun itu, kini telah tiada.
***
Cerpen Oleh;
Juli H. Purwaningayu
X.3
Empat Tahun Berlalu…..
“pengumuman masuk universitasnya gimana? Sudah ada?”
“ sudah bu”
“gimana?”
“ga lulus”
“ya sudah ga papa masih ada satu kesempatan lagi kan jurusan kedokteran giginya?”
“ga usah lah bu, jurusan ekonomi aja nanti, sudah dua kali ikut tes ga lulus-lulus, memang bukan takdirnya di kedokteran gigi”, aku berkata lemas kepada ibu.
“ ya terserah kamu, kuliah dimana. baru dua kali nyoba, sudah nyerah? Ga ada usahanya kamu?” kata ibu meyakinkan
Aku berjalan lunglai ke kamar. Dokter gigi, cita-citaku sejak dulu, pupus sudah. Aku tahu ibu dan Ayah sudah mendukung 100% atas cita-cita ini. Tapi aku pasrah.
“pyuh,, pantesan mbak Sena harus konsentrasi tinggi mau masuk universitas, susah gini masuknya”. Ucapku bergumam sendiri. Tiba-tiba aku ingat akan kejadian itu, waktu uti di sini. Aku langsung keluar kamar dan menyalakan computer.
“bu, tanggal tujuh dan delapan agustus ini ada test masuk jalur mandiri”, ucapku sedikit berteriak. Kini semangatku bangkit. Bangkit untuk menyenangkan uti di sana, tidak mengambil tindakan yang sia-sia……….
0 komentar:
Posting Komentar